Ini sudah kesekian kalinya aku mogok sarapan, tapi orangtuaku sepertinya tak mengerti juga. Lama-lama aku bisa gila. Padahal aku sudah berusaha mengatakan pada mereka, bahwa aku muak dengan sekolah dan segala persoalannya. Mata pelajaran yang tak pandang bulu, teman-teman yang banyak menuntut, guru-guru yang salah menerapkan sistem mengajar, di tambah lagi tugas-tugas yang menumpuk.
Apa di Amerika begitu? Tidak! Murid-murid di sana semangat belajar karena sekolah mereka mengasyikkan. Teman-teman yang keren dan tidak kampungan, fasilitas belajar-mengajar yang lengkap, guru-guru dan sistem pembelajaran yang berkualitas. Semua BERMUTU!
Beruntung Kak Johan dapat bersekolah di sana. Kakak sepupuku itu selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, lain denganku.
“Dia itu cerdas, makanya dapat beasiswa sekolah di Amerika. Nggak usah mimpi menyusulnya kalau nilai-nilaimu anjlok begini!” kata Mama sembari membanting buku ulanganku pagi ini.
“Yahh, aku memang kesulitan menyerap pelajaran. Mau bagaimana lagi?” balasku pasrah.
“Awas saja kalau ulangan fisika begini lagi!”
“Apa ancaman Mama kali ini? Mengirimku ke Amerika?”
“Nggak akan!” bentak Mama. “Kami berencana akan menyekolahkanmu di pondok pesantren di luar kota. Paham?”
Well, ada yang iri dengan perlakuan orangtuaku?
***
Mungkin tidak terlalu buruk kalau aku bilang Riko lumayan. Tidak ada satu pun dari teman-teman dekatku yang sependapat, tapi itu karena mereka belum melihat senyumnya yang memukau pagi ini. Sayangnya senyum itu untuk Bu Sisi, sekadar beramah-tamah pada guru yang terkenal lembut itu.
Sial, aku dibuatnya gugup pada pelajaran kesenian. Kami tergabung dalam satu kelompok untuk mengerjakan tugas membuat poster. Juga Armand an Edo. Sudah tentu aku memilih duduk di sebelah Edo, kecuali ingin membuat diriku sendiri terlihat bodoh di hadapan Riko.
Tiba saatnya poster diberi warna-warna. Kalau sudah begini, kami harus berhati-hati. Salah sedikit, jarang ada yang mampu mengakali ketidak-sengajaan itu. Karena cat tidak bisa dihapus oleh karet penghapus, seperti pensil.
Saat aku ragu-ragu, Riko kemudian memberiku beberapa kata penyemangat. “Langsung saja, kalau kamu pikir hasilnya akan jelek, nanti benar kejadian lho!” ujarnya.
Wow! Baru pernah aku mengagumi ucapan teman sekelasku yang biasanya tanpa isi. Entah karena aku menaruh perhatian pada Riko atau tidak, tapi kata-kata itu terdengar begitu menyayangiku.
Kalau ada alasan yang membuatku betah bersekolah di sini, mungkin cuma Riko satu-satunya. Gila, aku benar-benar sedang jatuh cinta!
***
Lima menit lagi bel masuk sekolah berdering dan aku belum mempersiapkan otakku untuk ulangan fisika! Huh, melirik catatanku pun rasanya tak sanggup, tapi aku berusaha menghafalkan rumus-rumus penting. Semoga soal-soal yang diberikan Bu Rita tidak serumit seperti biasanya.
Bel yang bagai pertanda kiamat pun berdering dan setumpuk kertas ulangan dengan arogan memasuki kelasku dalam pelukan ibu mereka, Gurita Saus Tiram. Entah kenapa teman-teman memanggil guru fisika itu begitu, tapi kupikir mungkin akan lezat juga disantap kalau beliau benar-benar seekor gurita. Haha!
Bahwa Bu Rita mengacak posisi tempat duduk kami, sudah dapat ditebak. Beliau tidak sebodoh itu membiarkan kami berdiskusi dengan teman lain yang bagi kami menguntungkan. Untungnya kami juga tidak sebodoh itu mau dibodohi. Kelas kami kompak. Semua saling menguntungkan satu sama lain.
Yang tidak tertebak olehku adalah Riko. Dia duduk di belakang bangkuku! Oh, aku pasti akan kehilangan banyak rumus karena sibuk memikirkannya.
Ketika kami semua tampak sudah siap, Bu Rita membagikan racunnya. Mau tidak mau kami harus menenggaknya dalam jangka waktu 60 menit. Racun itu mungkin tidak mematikan, tapi sampai batas waktu itu efek pusingnya akan langsung menyiksa. Orang jawa bilang, mumet!
“Cesa!” bisik seseorang dengan suara ditekan. Riko memanggilku? Yes! Segera kutolehkan kepala ke belakang. “Nomor empat.” Dia meyerahkan secarik kertas notes kepadaku.
Aku mencoba untuk tidak salah tingkah dan menyambar kertas itu sebelum Bu Rita melihatku. Tinggal 25 menit lagi dan aku baru menyelesaikan tiga dari lima soal! Beruntung nomor empat termasuk salah satu soal yang sudah kuselesaikan dengan tingkat kesulitan medium. Segera kutulis jawabanku pada kertas yang diberikan Riko.
Setelah selesai kukembalikan kertas itu pada si empunya dan ketika berbalik, Gurita Saus Tiram telah tersaji di mejaku…
***
Ini sudah ke-lima kalinya aku ketahuan bekerjasama dengan teman selama waktu ujian, tapi baru kali ini aku tidakgemetaran. Aneh, aku sendiri bingung kenapa aku justru tersenyum dan tak mengkhawatirkan ulanganku yang langsung digambari bulatan merah oleh guru paling galak di sekolah.
Teman-teman menafsirkan ada sesuatu yang lain di antara aku dan Riko. Aku tahu semua ini karenanya dan kebodohanku. Tapi bukankah sudah kukatakan aku jatuh cinta padanya?
Ketika kami akhinya dikeluarkan dari kelas, dia merasa sangat bersalah padaku. “Sorry…” ucapnya penuh penyesalan.
Itulah kenangan terakhirku bersama laki-laki yang kini kabarnya telah berubah dan meraih juara kelas itu. Tentu saja aku hanya mendengarnya dari teman-teman lewat email, karena sejak kejadian memalukan itu aku dikirim oleh orangtuaku ke pondok pesantren di luar kota.
Tapi ingatan tentang bocah laki-laki yang duduk di belakang bangkuku sewaktu ulangan fisika, akan selalu kubawa kemanapun aku pergi. Dan meski aku sudah tidak senakal dulu. Semoga!
Arum Kartika
The Boy Behind Me
Donna Donna
Pernah nonton film Gie? Pertama kali nonton, (waktu itu ditayangkan di TV, hehe, nomat gitu lho!) selain terpesona sama tokoh Soe Hok Gie yang dalam film itu diperankan oleh Nicholas Saputra, setting ceritanya yang kuno, aku juga sempat kagum sama salah satu soundtrack-nya, Donna Donna, yang dibawakan oleh Sita RSD yang dalam film itu juga dapat peran pembantu wanita.
Menurut sebuah sumber, lagu itu memang cukup terkenal di era 60-an. Penyanyinya terkenal sebagai musisi yang anti perang, siapa lagi kalau bukan Joan Baez. Dia pernah mendatangi ranch Bush di Texas dan mendapat sorotan dunia.
Here is it! Lirik lagu kesayanganku! Asli oke banget!
On a waggon bound for market
there`s a calf with a mournful eye.
High above him there`s a swallow,
winging swiftly through the sky.
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer`s night.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
“Stop complaining!” said the farmer,
Who told you a calf to be?
Why don`t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?”
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer`s night.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But whoever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly.
How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer`s night.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
tentang RAYNI
Rayni N. Massardi, lahir di Brussels, Belgia. Cerpen-cerpen karya lulusan Universitas Paris III Sorbonne Nouvelle, Departement d’Etudes et Recherches Cinematographique, Paris, Perancis, ini pernah dimuat di Femina, Horison, Kartini, Zaman, Kompas, dan Suara Pembaruan.
Cerpen Yang Tersisa dimuat dalam Kumpulan Cerpen Pilihan Kompas, Laki-laki yang Kawin dengan Peri (Penerbit Kompas, 1995). Cerpen Dua Senja dimuat dalam Kumpulan Cerpen Kompas 1981-1990 Riwayat Negeri yang Haru (Penerbit Kompas, 2006). Kumpulan Cerpen Istri Model Baru (Yayasan Sarinah, Jakarta, 1990). Kumpulan Cerpen Pembunuh (Penerbit kompas, 2005).
Selain fiksi, Rayni juga menulis kumpulan esai Hidup Enggak Enak Itu Enak! (JMC, 2007) dan biografi politik 1.655: Tak Ada Rahasia dalam Hidup Saya (Galangpress, Yogyakarta, 2005), serta salah seorang penulis buku Inspirasi Mode Indonesia (Gramedia, Jakarta, 2003).
Di atas merupakan halaman terakhir dari Kumpulan Cerpen I Don’t Care karangan Rayni N. Massardi yang diterbitkan PT Gramedia Pustaka Utama yang pernah kubaca. Cerpen-cerpennya sangat bebas kalau boleh aku bilang, tapi yang membuatku mencantumkan segelintir tentang penulisnya adalah karena sebenarnya kumpulan cerpen tersebut gratis diberikannya padaku, plus tanda tangan langsung darinya (hehe, pamer neh?).
Mau percaya atau enggak, kalian harus datang padaku, memintaku menunjukkan karya yang telah dibukukan itu.
Rayni memang bukan siapa-siapa. Sebagian dari kalian pasti merasa asing mendengar namanya. Aku sendiri dulu begitu. Tak perlu panjang lebar menjelaskan bagaimana aku sampai dapat tanda tangan darinya, yang kalian perlu tahu, Rayni adalah seorang istri dari Noorca M. Massardi, yang juga seorang penulis novel.
Pertama kali kulihat, Rayni berambut cokelat layaknya bule. Tapi Rayni orang Indonesia kok, cuma kelahiran Belgia. Kalian bisa baca karya-karyanya, dijamin memuaskan. Aku cuma bisa menghargainya lewat blog ini. Terima kasih Rayni, sudah memberiku sebuah buku yang mungkin tak mampu untuk kubeli, juga banyak inspirasi yang mengisinya!
Referensi: I Don't Care!
Perjalanan Pena
Deretan aksara, jiwa dan nadiku
Hanya dunia dan aku
Dunia pelangi warna hatiku
Aku sadar dalam mimpi
Aku hanya bayangan jauh dari realita
Aku hanya khayalan rakyat jelata
Tapi aku 'kan ke sana
Kedut otot dan cucuran keringatku
Semua berjanji mengantarkanku
Ikut dan tinggal pula menemaniku
Karena belum habis gairahku
Belum hilang niatku
Belum juga putus kagumku
Karena mataku rindu warna itu
Oh, konyol kata orang
Tapi mereka tak pernah tahu, kasihan
Hanya nafasku sebagai atmosfernya
Dan renungan panjang adalah sumber daya tiada tara
Di bukit itu letaknya ...
Sebentar lagi sampai!
Arum Kartika
02 : 52
Pagi ini seekor kecoa membangunkanku. Payah! Sedang enak-enaknya tidur, dibarengi entah mimpi apa (aku nggak pernah menjawab kalau temanku menanyakan mimpi apa semalam), makhluk kampret itu dengan sekehendak hatinya (baru pernah dengar kecoa punya kehendak hati) merayap bermain-main di tanganku. Aku yang nggak pernah kecolongan waspada langsung tahu itu musuh bebuyutanku walau di gelap malam. Kunyalakan layar handphone yang tiap malam bersamaku. Pukul 02.52 pagi! Dan ternyata satu ucapan pengantar tidur baru kubaca pagi itu. Dari teman sekolahku. Aku yakin tidurku semalam amat sangat lelap sampai nggak mendengar message alert yang kuatur dengan volume maksimum! Biar begitu, aku tetap melanjutkan tidurku sampai kemudian hp-ku berbunyi lagi. Alarm clock! Waktu sudah beranjak ke pukul 04.30.
Whoaaamm, saatnya benar-benar bangun. Get up!
the pride
Akhirnya kesampaian juga aku bikin blog, setelah sebelumnya ragu karena banyak hal yang musti dipertimbangkan. Hehe, sebenarnya nggak banyak juga sih, dan justru nggak penting. Tapi pencapaian ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri buatku ..
Congrat for my first blog !!