RSS

Namaku Arum Kartika. Aku suka memasak dan surfing di internet. aku salah seorang siswa di SMA N 11 Yogyakarta, kelas XII IPA 2 dan termasuk golongan anak-anak yang imut. Selamat datang di blogku...

The Boy Behind Me

Ini sudah kesekian kalinya aku mogok sarapan, tapi orangtuaku sepertinya tak mengerti juga. Lama-lama aku bisa gila. Padahal aku sudah berusaha mengatakan pada mereka, bahwa aku muak dengan sekolah dan segala persoalannya. Mata pelajaran yang tak pandang bulu, teman-teman yang banyak menuntut, guru-guru yang salah menerapkan sistem mengajar, di tambah lagi tugas-tugas yang menumpuk.
Apa di Amerika begitu? Tidak! Murid-murid di sana semangat belajar karena sekolah mereka mengasyikkan. Teman-teman yang keren dan tidak kampungan, fasilitas belajar-mengajar yang lengkap, guru-guru dan sistem pembelajaran yang berkualitas. Semua BERMUTU!
Beruntung Kak Johan dapat bersekolah di sana. Kakak sepupuku itu selalu mendapatkan apa yang diinginkannya, lain denganku.
“Dia itu cerdas, makanya dapat beasiswa sekolah di Amerika. Nggak usah mimpi menyusulnya kalau nilai-nilaimu anjlok begini!” kata Mama sembari membanting buku ulanganku pagi ini.
“Yahh, aku memang kesulitan menyerap pelajaran. Mau bagaimana lagi?” balasku pasrah.
“Awas saja kalau ulangan fisika begini lagi!”
“Apa ancaman Mama kali ini? Mengirimku ke Amerika?”
“Nggak akan!” bentak Mama. “Kami berencana akan menyekolahkanmu di pondok pesantren di luar kota. Paham?”
Well, ada yang iri dengan perlakuan orangtuaku?
***
Mungkin tidak terlalu buruk kalau aku bilang Riko lumayan. Tidak ada satu pun dari teman-teman dekatku yang sependapat, tapi itu karena mereka belum melihat senyumnya yang memukau pagi ini. Sayangnya senyum itu untuk Bu Sisi, sekadar beramah-tamah pada guru yang terkenal lembut itu.
Sial, aku dibuatnya gugup pada pelajaran kesenian. Kami tergabung dalam satu kelompok untuk mengerjakan tugas membuat poster. Juga Armand an Edo. Sudah tentu aku memilih duduk di sebelah Edo, kecuali ingin membuat diriku sendiri terlihat bodoh di hadapan Riko.
Tiba saatnya poster diberi warna-warna. Kalau sudah begini, kami harus berhati-hati. Salah sedikit, jarang ada yang mampu mengakali ketidak-sengajaan itu. Karena cat tidak bisa dihapus oleh karet penghapus, seperti pensil.
Saat aku ragu-ragu, Riko kemudian memberiku beberapa kata penyemangat. “Langsung saja, kalau kamu pikir hasilnya akan jelek, nanti benar kejadian lho!” ujarnya.
Wow! Baru pernah aku mengagumi ucapan teman sekelasku yang biasanya tanpa isi. Entah karena aku menaruh perhatian pada Riko atau tidak, tapi kata-kata itu terdengar begitu menyayangiku.
Kalau ada alasan yang membuatku betah bersekolah di sini, mungkin cuma Riko satu-satunya. Gila, aku benar-benar sedang jatuh cinta!
***
Lima menit lagi bel masuk sekolah berdering dan aku belum mempersiapkan otakku untuk ulangan fisika! Huh, melirik catatanku pun rasanya tak sanggup, tapi aku berusaha menghafalkan rumus-rumus penting. Semoga soal-soal yang diberikan Bu Rita tidak serumit seperti biasanya.
Bel yang bagai pertanda kiamat pun berdering dan setumpuk kertas ulangan dengan arogan memasuki kelasku dalam pelukan ibu mereka, Gurita Saus Tiram. Entah kenapa teman-teman memanggil guru fisika itu begitu, tapi kupikir mungkin akan lezat juga disantap kalau beliau benar-benar seekor gurita. Haha!
Bahwa Bu Rita mengacak posisi tempat duduk kami, sudah dapat ditebak. Beliau tidak sebodoh itu membiarkan kami berdiskusi dengan teman lain yang bagi kami menguntungkan. Untungnya kami juga tidak sebodoh itu mau dibodohi. Kelas kami kompak. Semua saling menguntungkan satu sama lain.
Yang tidak tertebak olehku adalah Riko. Dia duduk di belakang bangkuku! Oh, aku pasti akan kehilangan banyak rumus karena sibuk memikirkannya.
Ketika kami semua tampak sudah siap, Bu Rita membagikan racunnya. Mau tidak mau kami harus menenggaknya dalam jangka waktu 60 menit. Racun itu mungkin tidak mematikan, tapi sampai batas waktu itu efek pusingnya akan langsung menyiksa. Orang jawa bilang, mumet!
“Cesa!” bisik seseorang dengan suara ditekan. Riko memanggilku? Yes! Segera kutolehkan kepala ke belakang. “Nomor empat.” Dia meyerahkan secarik kertas notes kepadaku.
Aku mencoba untuk tidak salah tingkah dan menyambar kertas itu sebelum Bu Rita melihatku. Tinggal 25 menit lagi dan aku baru menyelesaikan tiga dari lima soal! Beruntung nomor empat termasuk salah satu soal yang sudah kuselesaikan dengan tingkat kesulitan medium. Segera kutulis jawabanku pada kertas yang diberikan Riko.
Setelah selesai kukembalikan kertas itu pada si empunya dan ketika berbalik, Gurita Saus Tiram telah tersaji di mejaku…
***
Ini sudah ke-lima kalinya aku ketahuan bekerjasama dengan teman selama waktu ujian, tapi baru kali ini aku tidakgemetaran. Aneh, aku sendiri bingung kenapa aku justru tersenyum dan tak mengkhawatirkan ulanganku yang langsung digambari bulatan merah oleh guru paling galak di sekolah.
Teman-teman menafsirkan ada sesuatu yang lain di antara aku dan Riko. Aku tahu semua ini karenanya dan kebodohanku. Tapi bukankah sudah kukatakan aku jatuh cinta padanya?
Ketika kami akhinya dikeluarkan dari kelas, dia merasa sangat bersalah padaku. “Sorry…” ucapnya penuh penyesalan.
Itulah kenangan terakhirku bersama laki-laki yang kini kabarnya telah berubah dan meraih juara kelas itu. Tentu saja aku hanya mendengarnya dari teman-teman lewat email, karena sejak kejadian memalukan itu aku dikirim oleh orangtuaku ke pondok pesantren di luar kota.
Tapi ingatan tentang bocah laki-laki yang duduk di belakang bangkuku sewaktu ulangan fisika, akan selalu kubawa kemanapun aku pergi. Dan meski aku sudah tidak senakal dulu. Semoga!

Arum Kartika

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar